Selasa, 23 Maret 2010
Kesanggupan Memikul Amanah
2010-03-23T12:09:00+07:00Firman Azka's BlogAkhlak|
Comments
Kesanggupan Memikul Amanah
Di sini, di situ, di mana-mana. Hampir setiap orang memegang jabatan atau peranan penting. Masalah jabatan atau peran tersebut bernilai atau tidak, bukan menjadi inti pembahasan. Yang terpenting adalah memiliki jabatan
Di sini saya tidak terfokus pada satu kata dan pengertian menjabat hanya dalam pemerintahan saya. Contoh yang lain, yang lebih kompleks dan lebih patut dibahas pun beribu-ribu makna dan kata. Tentu berdasarkan penafsiran masing-masing. Bisa jadi dalam menjabat sebagai kepala perusahaan, kepala sekolah, kepala organisasi, kepala lembaga sosial, sampai juga kepada lingkup terkecil - kepala rumah tangga - siapa lagi kalau bukan ayah.
Jabatan dianggap sesuatu yang menguntungkan. Begitulah persepsi orang sekarang. Entah dari mana dasar pemikiran tersebut. Ataukah hanya sekedar opini masyarakat. Namun yang jelas, banyak orang memperebutkannya hingga merelakan apapun yang mereka miliki.
Setelah mendapat jabatan, pertanyaan yang patut dipertimbangkan adalah apakah saya menjabat sudah menjalankan tugas saya dengan baik? Apakah saya telah benar-benar konsisten dalam mengambil keputusan? Apakah saya sanggup memikul amanah yang dipercayakan oleh orang lain kepada saya?
Bersikap Amanah
Amanah dari bahasa arab yang bermakna sama dengan kata iman. Secara istilah, amanah merupakan sesuatu yang dititipkan, dibebankan, ditimpakan atau dipercayakan kepada suatu orang. Di sini saya mengambil kata dibebankan dan ditimpakan, berarti amanah itu bukan perkara yang mudah pandangannya dalam Islam. Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Manusia dan Amanah
Sebagai manusia, hidup tentu tak pernah lepas dari amanah. Sejak mula manusia dilciptakan manusia memang diberikan oleh Allah kepercayaan oleh Allah sebagai pemimpin. Bagaimana kepememimpinan yang baik? Baca selengkapnya.
Nah, kodrat manusia saja sudah dicap oleh Allahsebagai pemikul amanah. Tentu amanah itu seolah menjadi bagian tubuh manusia itu sendiri sebagaimana QS. Al Ahzab{33}: 72
"Bukan saya yang mengatakan Anda zalim atau bodoh, akan tetapi ini adalah wahyu Allah."
Meningkatkan Rasa Amanah
Tak ada gading yang tak retak. Bagitulah pepatah ini hafal di luar kepala anak sekolah dasar. Akan tetapi apalah artinya gading kalau retak terus dan lama-lama rusak dan tak bernilai jual tinggi lagi? Oleh karena itu kita sebaiknya memperbaiki diri kita sebelum diri kita menjadi lebih "retak" dan "rusak".
Seiring berkembangnya zaman, sulit mencari orang yang amanah. Namun apakah dengan hanya mengeluhkan hal tersebut akan menyelesaikan masalah? Apa yang seharusnya kita perbuat?
1. Perbekal diri dengan ilmu agama, dengan demikian Anda berpikir-pikir dahulu sebelum berbuat sesuatu.
2. Membuat diri tenang dengan banyak mengingat Allah. Jika kita ingat Allah, maka Allah juga akan ingat kita. Sehingga kita dituntun ke jalan yang dirahmati Allah.
3. Memberikan teladan amanah. Bila kita memegang peran penting dalam suatu komunitas atau organisasi, jadikan diri kita sebagai teladan dengan berbuat baik dan peduli terhadap sesama.
4. Tegakkan hukum secara adil. Bila kita sebagai pemimpin, taak pandang bulu, jabatan , dan apapun yang disandangnya maka disitulah diberlakukan hukum yang sama.
5. Banyak-banyaklah mengingat dosa dan kesalahan kita akan membuat enggan menambah dosa dengan tidak amanah.
Jika sebuah masyarakat telah mengabaikan sikap amanah, tunggulah saat kehancuran dan keputusan Allah terhadap masyarakat tersebut. Masalahnya, sudahkah kita amanah?
Wallahu a'lam bish showab.***
Di sini saya tidak terfokus pada satu kata dan pengertian menjabat hanya dalam pemerintahan saya. Contoh yang lain, yang lebih kompleks dan lebih patut dibahas pun beribu-ribu makna dan kata. Tentu berdasarkan penafsiran masing-masing. Bisa jadi dalam menjabat sebagai kepala perusahaan, kepala sekolah, kepala organisasi, kepala lembaga sosial, sampai juga kepada lingkup terkecil - kepala rumah tangga - siapa lagi kalau bukan ayah.
Jabatan dianggap sesuatu yang menguntungkan. Begitulah persepsi orang sekarang. Entah dari mana dasar pemikiran tersebut. Ataukah hanya sekedar opini masyarakat. Namun yang jelas, banyak orang memperebutkannya hingga merelakan apapun yang mereka miliki.
Setelah mendapat jabatan, pertanyaan yang patut dipertimbangkan adalah apakah saya menjabat sudah menjalankan tugas saya dengan baik? Apakah saya telah benar-benar konsisten dalam mengambil keputusan? Apakah saya sanggup memikul amanah yang dipercayakan oleh orang lain kepada saya?
Bersikap Amanah
Amanah dari bahasa arab yang bermakna sama dengan kata iman. Secara istilah, amanah merupakan sesuatu yang dititipkan, dibebankan, ditimpakan atau dipercayakan kepada suatu orang. Di sini saya mengambil kata dibebankan dan ditimpakan, berarti amanah itu bukan perkara yang mudah pandangannya dalam Islam. Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak ada iman pada orang yang tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa memelihara janjinya" (Riwayat Ahmad).Sulit dibayangkan bila orang dikatakan tidak ada agama dalam dirinya. Padahal agama adalah sesuatu yang menjadi landasan dan cerminan hukum bagi seseorang. Tak beragama berarti tak berhukum. Tak berhukum berarti tak punya pegangan dan juga berarti tak terarah hidupnya.
Manusia dan Amanah
Sebagai manusia, hidup tentu tak pernah lepas dari amanah. Sejak mula manusia dilciptakan manusia memang diberikan oleh Allah kepercayaan oleh Allah sebagai pemimpin. Bagaimana kepememimpinan yang baik? Baca selengkapnya.
Nah, kodrat manusia saja sudah dicap oleh Allahsebagai pemikul amanah. Tentu amanah itu seolah menjadi bagian tubuh manusia itu sendiri sebagaimana QS. Al Ahzab{33}: 72
"Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanah (tugas-tugas) kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh."
Predikat amat zalim dan amat bodoh tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak menjalankan amanah dengan baik.
"Bukan saya yang mengatakan Anda zalim atau bodoh, akan tetapi ini adalah wahyu Allah."
Meningkatkan Rasa Amanah
Tak ada gading yang tak retak. Bagitulah pepatah ini hafal di luar kepala anak sekolah dasar. Akan tetapi apalah artinya gading kalau retak terus dan lama-lama rusak dan tak bernilai jual tinggi lagi? Oleh karena itu kita sebaiknya memperbaiki diri kita sebelum diri kita menjadi lebih "retak" dan "rusak".
Seiring berkembangnya zaman, sulit mencari orang yang amanah. Namun apakah dengan hanya mengeluhkan hal tersebut akan menyelesaikan masalah? Apa yang seharusnya kita perbuat?
1. Perbekal diri dengan ilmu agama, dengan demikian Anda berpikir-pikir dahulu sebelum berbuat sesuatu.
2. Membuat diri tenang dengan banyak mengingat Allah. Jika kita ingat Allah, maka Allah juga akan ingat kita. Sehingga kita dituntun ke jalan yang dirahmati Allah.
3. Memberikan teladan amanah. Bila kita memegang peran penting dalam suatu komunitas atau organisasi, jadikan diri kita sebagai teladan dengan berbuat baik dan peduli terhadap sesama.
4. Tegakkan hukum secara adil. Bila kita sebagai pemimpin, taak pandang bulu, jabatan , dan apapun yang disandangnya maka disitulah diberlakukan hukum yang sama.
5. Banyak-banyaklah mengingat dosa dan kesalahan kita akan membuat enggan menambah dosa dengan tidak amanah.
Jika sebuah masyarakat telah mengabaikan sikap amanah, tunggulah saat kehancuran dan keputusan Allah terhadap masyarakat tersebut. Masalahnya, sudahkah kita amanah?
Wallahu a'lam bish showab.***
Kesanggupan Memikul Amanah
2010-03-23T12:09:00+07:00
Firman Azka's Blog
Akhlak|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)