Tajuk Karangan

Makanan dan MinumanHukum Islam Tentang Makanan - MinumanDunia di era globalisasi memang serba memusingkan. Mau ini salah, mau itu juga salah. Karena kita telah mengenal segala sesuatu dengan cara pintas dan tidak baik. Banyak terjadi kemungkaran di mana-mana. Termasuk makanan dan minuman yang haram.....

Readmore

Larangan Sombong Dalam IslamLarangan Sombong Dalam IslamSuatu hari mungkin kita menemui suatu kemudahan dalam urusan kita. Orang lain bertanya kepada kita bagaimana cara anda menyelesaikan persoalan tersebut....

Readmore

Bencana Akibat Kemaksiatan - Sistem Yang BatilBencana Akibat Kemaksiatan - Sistem Yang BatilSungguh amat pilu negeri pertiwi kita. Bencana kembali melanda Indonesia, ini sejarah mencatat 3 bencana besar datang hampir bersamaan. Mulai dari bencana di Wasior, Papua,.....

Readmore

Kaum Terdahulu Yang DimusnahkanKaum Terdahulu Yang Dimusnahkan Sebenarnya, dari dulu telah terjadi kerusakan moral dan etika yang dikenal dengan zaman jahiliyah (kebodohan). Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah SWT dan diabadikan di dalam Al Quran...

Readmore

Kembali ke Al Quran - Hadis, Tegakkan Syariah IslamKembali ke Al Quran - Hadis, Tegakkan Syariah IslamDilema masyarakat kita tentang kebenaran suatu perkara atau hal yang sangat pelik sekali pun menjadi sesuatu yang tidak dapat ditentang. Sudah merupakan tuntutan jaman yang serba ingin cepat dan instan, membuat segalanya jadi kabur....

Readmore

Rabu, 04 Agustus 2010

Comments Melirik Kondisi Fatwa Ulama di Indonesia. Sudah Siapkah?


Di Indonesia, ulama telah memiliki sebuah wadah, tempat, sarana yang diberi nama Majelis Ulama Indonesia. Tugas Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat MUI) adalah memberikan sebuah kepastian, penentuan, penetapan suatu hukum yang berhubungan dengan agama Islam. Hal ini kita kenl dengan fatwa. Fatwa MUI inilah yang nantinya menjadi tolak ukur, pola pikir, dan ijtima’ (penentuan hukum Islam berdasarkan kesepakatan Ulama) bagi umat Islam di Indonesia.

Jika diurutkan, sebenarnya telah banyak fatwa yang keluar dari MUI. Namun fatwa tersebut hanya beberapa yang terasa manfaatnya. Atau mungkin tak berpengaruh sama sekali? Apa sebenarnya yang perlu dikoreksi ulang dari hukum negera ini?

Tak Punya Ilmu, Ikut Berfatwa
Begitu banyak fatwa MUI yang telah dikeluarkan. Dan yang sedang banyak dan marak diperbincangkan adalah mengenai halal-haramnya suatu produk atau maupun tindakan. Akan tetapi, beberapa diantarnya masih dalam pertimbangan dan beberapa telah ditetapkan. Yang telah ditetapkan misalnya aliran Ahmadiyah dinyatakan sesat. Yang masih dalam perdebatan akan tetapi sebagian ulama telah sepakat misalnya mengenai haram rokok, vaksin haji dan infotainment.
Mengenai kasus aliran sesat jika berpedoman kepada syariah Islam, tentu lebih mudah karena memiliki panduan yang jelas dari Al Quran dan Hadis walau mudahnya tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengenai hal-hal yang bersifat non-agamamis, penentuan lebih didasarkan kepada ijtima’ yang tentunya mengambil dasar dari Al Quran dan Hadis. Hal ini lebih sulit karena tidak adanya kepastian yang jelas semisal diharamkannya rokok dalam Al Quran. Rokok diharamkan karena terdapat unsur menjerumuskan diri kedalam penyakit yang berarti dzalim dan di dalam Al Quran telah ada. Begitu juga yang lainnya.

Fatwa telah keluar, lalu apa yang ditunggu? Terlalu lama menunggu hingga akhirnya banyak menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan. Apalagi orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas menjadi ikut-ikut berpendapat dan berdebat soal agama. Allah memperingatkan dalam QS. An Nisa {4}: 144

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Media yang Membesar-besarkan
Peran media tak lepas dari pengaruh berita yang dibawakannya untuk disampaikan kepada masyarakat. Opini media menjadi senjata jitu untuk memberikan kesan baik ataupun jelek. Sayangnya, sebagian besar media di Indonesia yang ada lebih menyukai sesuatu yang bersifat opini, bukan berita. Mereka mengira dengan diberi “bumbu-bumbu penyedap”, penikmat media akan menjadi suka. Tak seperti media Barat yang lebih mengedepankan nilai informatik.

Sebagai contoh kasus haramnya facebook. M. Nabiel Harun selaku Humas Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPPP) se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi'in Lirboyo menegaskan, hingga saat ini pihaknya tidak pernah mengusulkan kepada pihak manapun, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa haram terhadap facebook dan jejaring sosial lainnya.

"Hasil bahtsul masail FMPPP kemarin hanya menjelaskan bahwa facebook dan jejaring sosial lain hukumnya haram, jika dipergunakan berlebihan seperti kegiatan yang dapat membangkitkan syahwat,"ujarnya.

Oleh sebab itu, dia menyayangkan pemberitaan di media massa bahwa facebook dan jejaring sosial lainnya hukumnya haram. "Padahal, kesimpulannya tidak sesederhana itu. Terus terang, saya menyayangkan timbulnya distorsi itu," kata Nabiel.

Tak Berdaya, Tak Berwenang
Sungguh ironi sekali, fatwa ulama sebagai penentu kebijakan tatanan Negara Islam tak lagi diindahkan secara menyeluruh. Memang dari segi hukum dan politik, fatwa ulama di Indonesia tak memiliki cakupan khusus walau dalam bidang agamannya sendiri (Islam), apalagi sampai mempengaruhi wilayah hukum ketatanegaraan.

Berikut cuplikan yang saya ambil dari pendapat seseorang jurusan ilmu hukum, H.A. Komari, S.H., M.Hum . Beliau berpendapat bahwa :

"Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada dalam elemen infra struktur ketatanegaraan, sebab MUI adalah organisasi alim ulama umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan negara. Artinya pula, fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang ada dalam infra struktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Artinya sebenarnya legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam."


Memang secara yuridis fatwa MUI tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dikenal jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan mengatur bagi setiap warganya yaitu Undang-undang Dasar, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Secara yuridis formil dapat dikatakan bahwa fatwa MUI bukanlah sebuah produk hukum negara sehingga tidak ada kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaksanakan fatwa tersebut.

Nah, dari sini jelaslah MUI sendiri bukan bagian dari suatu bagian dari ketaatan hukum negara kita tercinta, Indonesia. Bahkan diberikan pilihan, bagi yang mau silahkan, yang tidak mau tidak masalah dan jangan dipaksa. Padahal sebagaimana kita ketahui, hampir 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Jika telah demikian, sungguh negeri ini butuh berdasarkan kepemimpinan yang spiritual berdasarkan syariah Islam.

Wallahu a'lam bish showab.***