Rabu, 30 Maret 2011
Kesalahan Mendudukan Akal Dan Wahyu Menyebabkan Syirik
2011-03-30T06:28:00+07:00Firman Azka's Blogakidah|Pegangan|
Comments
Kesalahan Mendudukan Akal Dan Wahyu Menyebabkan Syirik
Syirik yang secara terminologi berarti ‘mencampurkan’ ternyata di zaman postmo ini tidak hanya dalam segi spiritual, namun juga intelektual. Jika syirik spiritual mengindikasikan pelakunya melakukan perselingkuhan kepada Sang Pencipta terhadap ciptaan-Nya atau bertuhan lain di samping Tuhan yang sebenarnya, maka dalam syirik intelektual ini, maknanya tidak jauh berbeda yaitu menjadikan akal sejajar dengan wahyu, konteks sejajar dengan teks atau bahkan keduanya yang disebutkan pertama (akal dan konteks) lebih dikedepankan dari pada yang disebutkan terakhir (wahyu dan teks).
Dalam artian, sumber kebenaran yang menjadi tolak ukur pemikiran (intelektual) manusia bukan mengedepankan agama, namun justru melempar agama ke belakang dan menjadikannya pengekor yang selalu mengikuti kepentingan atas nama kemanusiaan. Ini kemudian berimbas pada pengakuan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan berakhir pada pengakuan terhadap yang plural dalam beragama atau sering dikenal dengan pluralisme agama. Atas nama kemanusiaan akhirnya agama dimanusiakan.
Penyalahgunaan Akal
Syirik intelektual ini telah mewabah seperti halnya jamur di musim hujan, sampai kemudian berhasil menempati ruang di hati sebagian cendikiawan muslim.
Dengan dalih pembaharuan, kemanusiaan dan penuntasan permasalahan kehidupan, teks agama yang sudah jelas keabsahannya kemudian hanya dijadikan sebagai dogma yang harus ditafsirkan ulang sesuai kemauan dan kondisi zaman. Akhirnya tidak ada hukum yang bersifat tetap (tsawabit). Mereka memang mengimani al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan mereka menggembor-gemborkan untuk kembali kepada keduanya, namun harus dibarengi dengan penafsiran baru dan disesuaikan dengan konteks yang ada.
Banyak kasus-kasus yang bisa dimasukkan dalam kategori “syirik intelektual”. Seperti dalam jurnal Justicia fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, th. IX, 2003 tertulis bahwa
Jadi jelas, “syirik intelektual” ini menjadikan manusia yang merupakan makhluk sosial sebagai pusat segalanya (antroposentris) dan memarginalkan campur tangan Tuhan yang seharusnya menjadi pusat yang sebenarnya (teosentris). Jika ditelisik jauh ke belakang, syirik intelektual ini sebenarnya bukan tergolong barang baru, karena akarnya sudah ada semenjak tradisi filsafat Yunani. Yaitu dengan pernyataan Protagoras bahwa manusia adalah ukuran segalanya (man is the measure of everything). Allah telah berfirman dalam Al Quran surat Al Mu’min {40} ayat 83:
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.
Untuk itu perlu segera dilakukan pemurnian, sebagaimana syirik yang berasal dari kata syaraka, berarti lawan katanya khalasha yang artinya memurnikan. Maka syirik intelektual ini harus dimurnikan dengan mereposisi al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengajarkan tauhid sebagai sumber hukum yang utama melampaui hukum-hukum yang ada buatan manusia atau dalam bahasa yang lain teks dan naql (wahyu) harus selalu lebih didahulukan dan dikedepankan daripada konteks dan akal yang dapat menjadi perang pemikiran.
Wallahu a'lam bish shawab
Dalam artian, sumber kebenaran yang menjadi tolak ukur pemikiran (intelektual) manusia bukan mengedepankan agama, namun justru melempar agama ke belakang dan menjadikannya pengekor yang selalu mengikuti kepentingan atas nama kemanusiaan. Ini kemudian berimbas pada pengakuan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan berakhir pada pengakuan terhadap yang plural dalam beragama atau sering dikenal dengan pluralisme agama. Atas nama kemanusiaan akhirnya agama dimanusiakan.
Penyalahgunaan Akal
Syirik intelektual ini telah mewabah seperti halnya jamur di musim hujan, sampai kemudian berhasil menempati ruang di hati sebagian cendikiawan muslim.
Dengan dalih pembaharuan, kemanusiaan dan penuntasan permasalahan kehidupan, teks agama yang sudah jelas keabsahannya kemudian hanya dijadikan sebagai dogma yang harus ditafsirkan ulang sesuai kemauan dan kondisi zaman. Akhirnya tidak ada hukum yang bersifat tetap (tsawabit). Mereka memang mengimani al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan mereka menggembor-gemborkan untuk kembali kepada keduanya, namun harus dibarengi dengan penafsiran baru dan disesuaikan dengan konteks yang ada.
Banyak kasus-kasus yang bisa dimasukkan dalam kategori “syirik intelektual”. Seperti dalam jurnal Justicia fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, th. IX, 2003 tertulis bahwa
“Setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad.”Kemudian satu tahun berikutnya, muncul lagi pemikiran bahwa “lesbian adalah fenomena rahmat Tuhan” (Jurnal Justisia Edisi 25 Tahun XI 2004, hlm. 55).
Jadi jelas, “syirik intelektual” ini menjadikan manusia yang merupakan makhluk sosial sebagai pusat segalanya (antroposentris) dan memarginalkan campur tangan Tuhan yang seharusnya menjadi pusat yang sebenarnya (teosentris). Jika ditelisik jauh ke belakang, syirik intelektual ini sebenarnya bukan tergolong barang baru, karena akarnya sudah ada semenjak tradisi filsafat Yunani. Yaitu dengan pernyataan Protagoras bahwa manusia adalah ukuran segalanya (man is the measure of everything). Allah telah berfirman dalam Al Quran surat Al Mu’min {40} ayat 83:
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.
Untuk itu perlu segera dilakukan pemurnian, sebagaimana syirik yang berasal dari kata syaraka, berarti lawan katanya khalasha yang artinya memurnikan. Maka syirik intelektual ini harus dimurnikan dengan mereposisi al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengajarkan tauhid sebagai sumber hukum yang utama melampaui hukum-hukum yang ada buatan manusia atau dalam bahasa yang lain teks dan naql (wahyu) harus selalu lebih didahulukan dan dikedepankan daripada konteks dan akal yang dapat menjadi perang pemikiran.
Wallahu a'lam bish shawab
Kesalahan Mendudukan Akal Dan Wahyu Menyebabkan Syirik
2011-03-30T06:28:00+07:00
Firman Azka's Blog
akidah|Pegangan|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)