Kamis, 19 Mei 2011
Tetangga Sebagai Orang Terdekat, Harus !
2011-05-19T05:26:00+07:00Firman Azka's BlogAkhlak|
Comments
Tetangga Sebagai Orang Terdekat, Harus !
Terdapat kisah menakjubkan dalam akhlak bertetangga yang ditampilkan oleh seorang Imam terkenal. Akhlak yang hampir tak terdengar semisalnya di umat manapun. Beliau adalah Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab fiqh Hanafi. Diceritakan, bahwa Imam yang satu ini hidup bertetangga dengan seorang Yahudi. Setiap subuh, ketika sang Imam keluar rumah menunaikan shalat subuh di Masjid, sang Imam menemukan sampah berserakan di depan pintu rumahnya. Untuk pertama kali, beliau agak terkejut, namun beliau tidak bercerita kepada siapapun tentang kasus ini. Tiap subuh ia mengumpul sampah yang berserakan itu lalu membuangnya, kemudian ia pergi ke Masjid. Begitulah tiap pagi kegiatan beliau. Namun tak ada yang mengetahui kejadian ini, karena sang Imam tidak memberitahukannya. Sekian lama hal itu terjadi.
Suatu ketika, sang tetangga, Yahudi itu berurusan dengan pegadilan karena sesuatu kasus, hingga menyeretnya ke penjara. Beberapa lama ia sempat mendekam di penjara. Abu Hanifah agak heran kenapa selama waktu itu tak ada lagi sampah yang berserakan di halamannya. Dalam kasus Yahudi itu Abu Hanifah diminta sebagai saksi atas dirinya, maka Imam Abu Hanifah baru mengetahui bahwa tetangganya di penjara, lalu ia meminta pengadilan untuk melepaskannya. Yahudi itupun dikeluarkan dari penjara atas referensi sang Imam. Ketika ditanya oleh Hakim, kenapa Anda meminta supaya orang ini dilepaskan, Imam menjawab, selama dia di tahanan, saya tidak dapat pahala, karena tak ada sampah yang berserakan di halaman saya. Yahudi itupun menyadari bahwa yang meminta supaya ia dilepaskan adalan tetangganya yang sering dizaliminya itu. Akhirnya sang Yahudi setelah keluar dari penjara, mendatangi Imam Abu Hanifah dan mengumumkan dirinya bersyahadat (masuk Islam).
Siapa Saja Mereka?
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Sehingga diberikan hak tetangga tersebut sesuai dengan keadaan dan hak mereka.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah:
1. Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha, Az Zuhri dan Al Auzaa’i.
2. Sepuluh rumah dari semua arah.
3. Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Tholib Radhiallahu ‘anhu.
4. Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
5. Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Wasiat Islam Terhadap Tetangga
Seseorang yang bertauhid, harus berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik.
"Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain-lain - orang yang dalam perjalanan dan - lalu kehabisan bekal -hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu." (An Nisa' (4) :36).
Begitu pula, dalam etika bertetangga. Bahkan etika ini menjadi perhatian khusus oleh Rasulullah SAW.
“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim).
Benar-benar suatu "wasiat" yang sungguh luar biasa. Islam menjunjung tinggi ukhuwah yang diwujudkan dalam hubungan baik dengan tetangga. Hal ini dikarena, pentingnya persaudaraan diantara umat Islam. Selengkapnya.
Yang Perlu Diperhatikan
Pertama, Tidak berkata, berbuat atau berprasangka yang tidak baik. Kalau mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.
Rasulullah SAW pernah ditanya: Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah Rasulullah menjawab: ”Tidak ada kebaikan di dalamnya dan dia adalah penduduk neraka”.(HR. Bukhari).
Kedua, Berbagai makanan secukupnya, jika kita memiliki makanan lebih.
Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu - untuk saling beri-memberikan." (HR. Muslim).
Jika pun rizki itu tidak cukup dibagikan untuk tetangga, maka jangan sampai bau makanannya sampai kepada tetangga. Jangan sampi pula tetangga kelaparan sedangkan kita kenyang.
Ketiga, Menjaga Tetangga. Rasulullah SAW member peringatan keras agar tidak menganggu tetangga. “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!" Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya – tipuannya.” (HR. Bukhari).
Keempat, Menyapa, berperilaku baik dan sopan. Jika tetangga membutuhkan sesuatu untuk dirinya, kita jangan menghalanginya. Seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW:
"Janganlah seseorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengukuh atap dan lain-lain.” (HR. Bukhari).
Sudahkah kita memuliakan tetangga? Jika belum, mulailah dari sekarang! Jangan sampai tetangga kita-lah yang memulai dahulu kepada kita. Bukankah berbuat kebaikan lebih dulu merupakan hal yang lebih utama?
Wallahu a'lam bish shawab.***
Suatu ketika, sang tetangga, Yahudi itu berurusan dengan pegadilan karena sesuatu kasus, hingga menyeretnya ke penjara. Beberapa lama ia sempat mendekam di penjara. Abu Hanifah agak heran kenapa selama waktu itu tak ada lagi sampah yang berserakan di halamannya. Dalam kasus Yahudi itu Abu Hanifah diminta sebagai saksi atas dirinya, maka Imam Abu Hanifah baru mengetahui bahwa tetangganya di penjara, lalu ia meminta pengadilan untuk melepaskannya. Yahudi itupun dikeluarkan dari penjara atas referensi sang Imam. Ketika ditanya oleh Hakim, kenapa Anda meminta supaya orang ini dilepaskan, Imam menjawab, selama dia di tahanan, saya tidak dapat pahala, karena tak ada sampah yang berserakan di halaman saya. Yahudi itupun menyadari bahwa yang meminta supaya ia dilepaskan adalan tetangganya yang sering dizaliminya itu. Akhirnya sang Yahudi setelah keluar dari penjara, mendatangi Imam Abu Hanifah dan mengumumkan dirinya bersyahadat (masuk Islam).
Siapa Saja Mereka?
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Sehingga diberikan hak tetangga tersebut sesuai dengan keadaan dan hak mereka.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah:
1. Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha, Az Zuhri dan Al Auzaa’i.
2. Sepuluh rumah dari semua arah.
3. Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Tholib Radhiallahu ‘anhu.
4. Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
5. Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Wasiat Islam Terhadap Tetangga
Seseorang yang bertauhid, harus berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik.
"Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain-lain - orang yang dalam perjalanan dan - lalu kehabisan bekal -hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu." (An Nisa' (4) :36).
Begitu pula, dalam etika bertetangga. Bahkan etika ini menjadi perhatian khusus oleh Rasulullah SAW.
“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim).
Benar-benar suatu "wasiat" yang sungguh luar biasa. Islam menjunjung tinggi ukhuwah yang diwujudkan dalam hubungan baik dengan tetangga. Hal ini dikarena, pentingnya persaudaraan diantara umat Islam. Selengkapnya.
Yang Perlu Diperhatikan
Pertama, Tidak berkata, berbuat atau berprasangka yang tidak baik. Kalau mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.
Rasulullah SAW pernah ditanya: Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah Rasulullah menjawab: ”Tidak ada kebaikan di dalamnya dan dia adalah penduduk neraka”.(HR. Bukhari).
Kedua, Berbagai makanan secukupnya, jika kita memiliki makanan lebih.
Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu - untuk saling beri-memberikan." (HR. Muslim).
Jika pun rizki itu tidak cukup dibagikan untuk tetangga, maka jangan sampai bau makanannya sampai kepada tetangga. Jangan sampi pula tetangga kelaparan sedangkan kita kenyang.
Ketiga, Menjaga Tetangga. Rasulullah SAW member peringatan keras agar tidak menganggu tetangga. “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!" Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya – tipuannya.” (HR. Bukhari).
Keempat, Menyapa, berperilaku baik dan sopan. Jika tetangga membutuhkan sesuatu untuk dirinya, kita jangan menghalanginya. Seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW:
"Janganlah seseorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengukuh atap dan lain-lain.” (HR. Bukhari).
Sudahkah kita memuliakan tetangga? Jika belum, mulailah dari sekarang! Jangan sampai tetangga kita-lah yang memulai dahulu kepada kita. Bukankah berbuat kebaikan lebih dulu merupakan hal yang lebih utama?
Wallahu a'lam bish shawab.***
Tetangga Sebagai Orang Terdekat, Harus !
2011-05-19T05:26:00+07:00
Firman Azka's Blog
Akhlak|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)