Senin, 31 Januari 2011
Kompetisi Politik, Kepentingan Umat Atau Pribadi?
2011-01-31T21:49:00+07:00Firman Azka's BlogPolitik|
Comments
Kompetisi Politik, Kepentingan Umat Atau Pribadi?
Ambisi akan kemenangan dalam sebuah kompetisi merebut kursi kepemimpinan, tidak jarang pula membuat seseorang mulai dengan kasak kusuk menebar seribu prasangka, mengorek-ngorek aib atau cela sesama saudara, dan mengobral kesalahan lawan saingan.
Bila cara-cara tercela saling mencari aib dan kesalahan ini dilakukan dan dibudayakan, dikhawatirkan wacana demokrasi, berupa pilkada langsung, akan ditinggalkan oleh masyarakat yang bermartabat. Boleh jadi masyarakat akan antipati dan memandang proses pemilihan sebagai permainan demokrasi belaka, karena mereka hanya ditawarkan seseorang calon pemimpin yang jelek di antara yang terjelek, tidak pernah ditawarkan calon pemimpin yang terbaik di antara yang baik.
Islam Berpolitik?
Banyak yang memandang sebelah mata, mampukah Islam terjun dalam dunia politik. Sedangkan yang terlanjur "akrab" dikenal masyarakat pada umumnya, Islam itu, ya ibadah, shalat, puasa dan yang penting berpahala dan mati masuk surga. Lalu siapa yang mengatur segala urusan kehidupan bernegara jika bukan dari pemiliknya sendiri yang mayoritas Islam? Yakinkah Anda dapat khusuk beribadah jika menyaksikan realita konflik politik yang "carut-marut"?
Di dalam Islam, politik dan kekuasaan bukan barang terlarang, melainkan dianjurkan sejauh sejalan dengan dan untuk menjalankan visi-misi kehambaan dan kekhalifahan. Dengan politik dan kekuasaan, tugas khilafah dapat dijalankan lebih kongkret dan efektif. Bahkan politik dan kekuasaan, demikian ideal islaminya, merupakan instrumen atau media paling efektif untuk mendakwahkan dan menegakkan pesan-pesan Islam.
Rasulullah SAW sendiri, kenyataan sejarah, berhasil gemilang menyebarkan dan menegakkan supremasi Islam setelah beliau membangun dan memegang kekuasaan politik bersama Negara Khilafah Islam al-Madinah al-Munawwarah. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa umat atau masyarakat itu cenderung mengikuti agama pemimpinnya. Betapa kekuasaan dan figur penguasa sangat penting dan memainkan peran strategis di dalam Islam. Islam maju dan kuat, demikian kenyataan historis, tidak terlepas dari dukungan kekuasaan politik.
Bahwa umat Islam dianjurkan berpolitik dan harus memegang kekuasaan dengan amanah adalah pasti. Namun, bagaimana kekuasaan itu diraih sesuai dengan etika islami dan harus dijalankan sesuai dengan visi-misi kehambaan dan keislaman, adalah sesuatu yang perlu bukti.
Di dalam aqidah tauhidiah islamiah, Allah adalah Penguasa Mutlak, segala kekuasaan ada dalam genggeman-Nya. Allah bebas memberikan atau mencabut kembali kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dengan kekuasaan yang dianugerahkan seseorang menjadi mulia, dan dengan kekuasaan itu pula seseorang dapat tercampak hina.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Ali Imran {3}:26).
Kekuasaan adalah nikmat yang dapat membuat seseorang menjadi mulia dan terbuka jalan menuju surga. Tetapi nikmat ini dapat berubah menjadi niqmat, bala, yang dapat membuat seseorang menjadi hina dina dan dalam ancaman kawah neraka. Kekuasaan yang lekat dengan suatu jabatan - demikian realitas kekinian - bagaikan jalan tol menuju kaya dan mulia, sekaligus jalan tol menuju pintu penjara dan terhina.
Secara teologis islami, seseorang diperintahkan memohon dan meminta suatu kekuasaan atau kedudukan hanya kepada Allah, bukan meminta kepada sesuatu atau seseorang yang salah. Berdoa dan berusahalah dengan tekun, jangan meminta kepada para dukun. Si dukun atau paranormal tidak akan pernah menghantarkan seseorang kepada kekuasaan, melainkan dapat berakibat fatal menyeret seseorang kepada kemusyrikan.
Di samping tekun tidak bosan berdoa, manusia yang bercita-cita meraih kekuasaan wajib berusaha sesuai nilai-nilai etika Islami. Modal utama dan paling mendasar untuk menjadi pemimpin adalah kualitas dan integritas individual. Pemimpin islami sejati tidak akan pernah meminta-minta apalagi mengemis untuk dipilih atau diangkat menjadi pemimpin. Kalau terpilih, itu karena memang yang layak dipilih. Rasulullah menjadi pemimpin dan penguasa politik semata-mata karena kualitas dan integritas individualnya yang tiada bandingnya. Seorang pemimpin atau penguasa Islami lebih berjanji kepada diri sendiri untuk komit melaksanakan amanat, bukan mengobral seribu janji kepada masyarakat. Umar Ibn al-Khattab misalnya, ketika dibaiat menjadi khalifah Islam, bertekad untuk menjalankan amanah sesuai dengan hukum Allah, lalu dia meminta kepada umat untuk selalu mengingatkan bahkan menghukum dirinya apabila ternyata kelak ia menyimpang dari hukum Ilahi dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Sebuah Konsekuensi
Maka kalau ingin dipilih menjadi pemimpin atau penguasa, tunjukkan kemuliaan dan jati diri serta perlihatkan seribu prestasi. Jangan menjajakan seribu janji bagai menumpahkan air di daun keladi. Bangun sillaturrahim, perkenalkan dan sosialisasikan rencana perbaikan yang akan diperjuangkan. Yakinkan umat bahwa Anda adalah calon pemimpin yang jujur, amanah, dan komit menepati janji.
Di saat jabatan kepemimpinan sangat diminati, maka semangat kompetisi pasti tinggi, kemungkinan menang dan kalah pasti terjadi. Dalam suasana kompetisi penuh ambisi ini, persaingan tidak sehat dan tidak bersahabat sangat mungkin terjadi, lalu seseorang menempuh seribu cara, merancang sejuta muslihat untuk menjatuhkan lawan yang dianggap saingan berat.
Pemimpin Yang Menang
Berkuasa atau tidaknya seseorang tergantung kepada qudrah dan iradah Allah. Oleh sebab itu, siapa pun yang sukses meraih kekuasaan, jangan takabur dan lupa bersukur. Sebaliknya, siapa pun yang gagal dalam kompetisi meraih kekuasaan tidak usah merasa hina dan putus asa, tetap berlapang dada seraya tidak alpa memetik hikmah dari kegagalannya. Sangat mungkin, ada seribu ujian di hadapan kesuksesan dan ada seribu kebaikan di balik kegagalan.
Jadilah pemenang dalam persaingan, karena keutamaan dan kemuliaan, bukan karena kelicikan mencari-cari dan mengobral kelemahan lawan saingan. Jadilah terpilih karena paling amanah, bukan karena paling lihai menebar fitnah.
Dari dan kepada kepada Allah segala kekuasaan akan dikembalikan dan dipertanggungjawabkan. Bila suara rakyat sudah didapatkan, maka hak mereka harus diberikan. Tugas dan amanat hendaklah ditunaikan, janji dan ucapan simpati ketika berkampanye haruslah ditepati.
Wallahu a'lam bish shawab.
995QVFNZSEKB
Bila cara-cara tercela saling mencari aib dan kesalahan ini dilakukan dan dibudayakan, dikhawatirkan wacana demokrasi, berupa pilkada langsung, akan ditinggalkan oleh masyarakat yang bermartabat. Boleh jadi masyarakat akan antipati dan memandang proses pemilihan sebagai permainan demokrasi belaka, karena mereka hanya ditawarkan seseorang calon pemimpin yang jelek di antara yang terjelek, tidak pernah ditawarkan calon pemimpin yang terbaik di antara yang baik.
Islam Berpolitik?
Banyak yang memandang sebelah mata, mampukah Islam terjun dalam dunia politik. Sedangkan yang terlanjur "akrab" dikenal masyarakat pada umumnya, Islam itu, ya ibadah, shalat, puasa dan yang penting berpahala dan mati masuk surga. Lalu siapa yang mengatur segala urusan kehidupan bernegara jika bukan dari pemiliknya sendiri yang mayoritas Islam? Yakinkah Anda dapat khusuk beribadah jika menyaksikan realita konflik politik yang "carut-marut"?
Di dalam Islam, politik dan kekuasaan bukan barang terlarang, melainkan dianjurkan sejauh sejalan dengan dan untuk menjalankan visi-misi kehambaan dan kekhalifahan. Dengan politik dan kekuasaan, tugas khilafah dapat dijalankan lebih kongkret dan efektif. Bahkan politik dan kekuasaan, demikian ideal islaminya, merupakan instrumen atau media paling efektif untuk mendakwahkan dan menegakkan pesan-pesan Islam.
Rasulullah SAW sendiri, kenyataan sejarah, berhasil gemilang menyebarkan dan menegakkan supremasi Islam setelah beliau membangun dan memegang kekuasaan politik bersama Negara Khilafah Islam al-Madinah al-Munawwarah. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa umat atau masyarakat itu cenderung mengikuti agama pemimpinnya. Betapa kekuasaan dan figur penguasa sangat penting dan memainkan peran strategis di dalam Islam. Islam maju dan kuat, demikian kenyataan historis, tidak terlepas dari dukungan kekuasaan politik.
Bahwa umat Islam dianjurkan berpolitik dan harus memegang kekuasaan dengan amanah adalah pasti. Namun, bagaimana kekuasaan itu diraih sesuai dengan etika islami dan harus dijalankan sesuai dengan visi-misi kehambaan dan keislaman, adalah sesuatu yang perlu bukti.
Di dalam aqidah tauhidiah islamiah, Allah adalah Penguasa Mutlak, segala kekuasaan ada dalam genggeman-Nya. Allah bebas memberikan atau mencabut kembali kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dengan kekuasaan yang dianugerahkan seseorang menjadi mulia, dan dengan kekuasaan itu pula seseorang dapat tercampak hina.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Ali Imran {3}:26).
Kekuasaan adalah nikmat yang dapat membuat seseorang menjadi mulia dan terbuka jalan menuju surga. Tetapi nikmat ini dapat berubah menjadi niqmat, bala, yang dapat membuat seseorang menjadi hina dina dan dalam ancaman kawah neraka. Kekuasaan yang lekat dengan suatu jabatan - demikian realitas kekinian - bagaikan jalan tol menuju kaya dan mulia, sekaligus jalan tol menuju pintu penjara dan terhina.
Secara teologis islami, seseorang diperintahkan memohon dan meminta suatu kekuasaan atau kedudukan hanya kepada Allah, bukan meminta kepada sesuatu atau seseorang yang salah. Berdoa dan berusahalah dengan tekun, jangan meminta kepada para dukun. Si dukun atau paranormal tidak akan pernah menghantarkan seseorang kepada kekuasaan, melainkan dapat berakibat fatal menyeret seseorang kepada kemusyrikan.
Di samping tekun tidak bosan berdoa, manusia yang bercita-cita meraih kekuasaan wajib berusaha sesuai nilai-nilai etika Islami. Modal utama dan paling mendasar untuk menjadi pemimpin adalah kualitas dan integritas individual. Pemimpin islami sejati tidak akan pernah meminta-minta apalagi mengemis untuk dipilih atau diangkat menjadi pemimpin. Kalau terpilih, itu karena memang yang layak dipilih. Rasulullah menjadi pemimpin dan penguasa politik semata-mata karena kualitas dan integritas individualnya yang tiada bandingnya. Seorang pemimpin atau penguasa Islami lebih berjanji kepada diri sendiri untuk komit melaksanakan amanat, bukan mengobral seribu janji kepada masyarakat. Umar Ibn al-Khattab misalnya, ketika dibaiat menjadi khalifah Islam, bertekad untuk menjalankan amanah sesuai dengan hukum Allah, lalu dia meminta kepada umat untuk selalu mengingatkan bahkan menghukum dirinya apabila ternyata kelak ia menyimpang dari hukum Ilahi dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Sebuah Konsekuensi
Maka kalau ingin dipilih menjadi pemimpin atau penguasa, tunjukkan kemuliaan dan jati diri serta perlihatkan seribu prestasi. Jangan menjajakan seribu janji bagai menumpahkan air di daun keladi. Bangun sillaturrahim, perkenalkan dan sosialisasikan rencana perbaikan yang akan diperjuangkan. Yakinkan umat bahwa Anda adalah calon pemimpin yang jujur, amanah, dan komit menepati janji.
Di saat jabatan kepemimpinan sangat diminati, maka semangat kompetisi pasti tinggi, kemungkinan menang dan kalah pasti terjadi. Dalam suasana kompetisi penuh ambisi ini, persaingan tidak sehat dan tidak bersahabat sangat mungkin terjadi, lalu seseorang menempuh seribu cara, merancang sejuta muslihat untuk menjatuhkan lawan yang dianggap saingan berat.
Pemimpin Yang Menang
Berkuasa atau tidaknya seseorang tergantung kepada qudrah dan iradah Allah. Oleh sebab itu, siapa pun yang sukses meraih kekuasaan, jangan takabur dan lupa bersukur. Sebaliknya, siapa pun yang gagal dalam kompetisi meraih kekuasaan tidak usah merasa hina dan putus asa, tetap berlapang dada seraya tidak alpa memetik hikmah dari kegagalannya. Sangat mungkin, ada seribu ujian di hadapan kesuksesan dan ada seribu kebaikan di balik kegagalan.
Jadilah pemenang dalam persaingan, karena keutamaan dan kemuliaan, bukan karena kelicikan mencari-cari dan mengobral kelemahan lawan saingan. Jadilah terpilih karena paling amanah, bukan karena paling lihai menebar fitnah.
Dari dan kepada kepada Allah segala kekuasaan akan dikembalikan dan dipertanggungjawabkan. Bila suara rakyat sudah didapatkan, maka hak mereka harus diberikan. Tugas dan amanat hendaklah ditunaikan, janji dan ucapan simpati ketika berkampanye haruslah ditepati.
Wallahu a'lam bish shawab.
995QVFNZSEKB
Kompetisi Politik, Kepentingan Umat Atau Pribadi?
2011-01-31T21:49:00+07:00
Firman Azka's Blog
Politik|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)